![]() |
Illustrasi cover buku "Kosmologi Banyu Penguripan" Credit Foto: Istimewa |
Kudus, SEKITARMURIA.COM - Yayasan
Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) menghelat acara dalam rangka Ta’sis
Masjid al-Aqsha Menara Kudus pada Ahad Pon – Selasa Kliwon 17-19 Rajab 1440 H
(24-25 Maret 2019 TU). Kegiatan ini terdiri dari tujuh rangkaian acara yang
akan diakhiri oleh Kirab Banyu Panguripan, momen penyatuan 50 sumber air di
Kudus.
Di
tengah-tengah ketujuh rangkaian acara tersebut, YM3SK akan me-launching buku
Kosmologi Banyu Panguripan yang sudah diteliti beberapa bulan ini. Penjabaran
detil mengenai isi buku tersebut akan dibahas pada Malam Senin Wage, 18 Rajab
1440 H (24 Maret 2019 TU) pada acara Jagong Gusjigang: “Banyu Panguripan, Urip lan
Urup.” Buku ini akan membahas secara sistematis dan spiritual teknik-teknik dan
instrumen yang digunakan Syeikh Ja’far Shodiq dalam menyebarkan Agama Islam di
Kota Kudus.
Dari
sekian bangunan bersejarah di Bumi Nusantara, Menara Kudus memiliki ke-khas-an
tersendiri. Situs sebesar Borobudur, Prambanan, dan Kuil Sam Poo Kong dibangun
atas dasar satu agama, sementara Menara Kudus mencerminkan semangat multi etnis
multi religi. Bangunan Menara Masjid al-Aqsha bentuknya menyerupai bangunan
candi, atapnya bergaya arsitektur Islam, dan lubang pancuran tempat
wudlunya ber-ornament kepala arca ala Budha.
Untuk
mempertegas semangat multi etnis multi religi, Kangjeng Sunan Kudus melangkah
ke arah kohesi sosial. Sebagai ketua asosiasi dagang Kerajaan Demak, Sunan
Kudus memahami benar bahwa ketergantungan masyarakat terhadap air sebagai
sumber penguripan. Masyarakat di samping membutuhkan air untuk kebutuhan
sehari-hari, juga membutuhkan tirtha untuk instrumen persembahyangan. Oleh
karena itu dibuatlah “Banyu Penguripan” di Menara dengan fungsi yang relatif
sama dengan keyakinan masyarakat.
Perkembangan
selanjutnya, di setiap wilayah muncul tokoh dari pengikut Sunan Kudus dengan
kekuatan simpulnya sendiri, membangun daerah dengan kekhasan masing-masing,
namun tetap nyambung dengan sel utamanya di Menara. Jika di Menara Kudus
memiliki air suci yang disebut “Banyu Penguripan”, maka di berbagai wilayah
ditemukan Belik dan Sendang yang juga memiliki “air suci” yang difungsikan
untuk fungsi ibadah dan fungsi sosial lainnya.
Di
sampaing air, masyarakat Hindu saat itu sangat mengistimewakan sapi karena
menjadi kendaraan Dewa Krisna. Begitu terhormatnya sapi, sampai disejajarkan
dengan 7 ibu yang wajib dihormati, yakni ibu kandung, ibu pertiwi, istri guru,
istri brahmana (varna-brahmana), istri raja, dan perawat. Melihat begitu
istimewanya sapi, maka Kangjeng Sunan Kudus melarang menyembelih sapi, walaupun
dalam Islam halal. Demikian pula sebaliknya, arak (minuman keras) juga dilarang
untuk dikonsumsi seluruh masyarakat karena haram menurut Islam, walaupun
“halal” menurut adat Hindu. (Mirza/SM)
0 komentar:
Post a Comment